Keracunan MBG Satu Korban Terlalu Banyak

PROGRAM Makan Bergizi Gratis (MBG) digadang-gadang sebagai salah satu terobosan besar pemerintah untuk mengurangi beban keluarga miskin sekaligus meningkatkan kualitas gizi generasi muda. Sejak diluncurkan, program ini dipuji karena skalanya yang masif dan dampaknya yang potensial terhadap perbaikan kualitas sumber daya manusia. Namun, di balik sorotan keberhasilan, sejumlah kasus keracunan makanan di beberapa daerah menimbulkan pertanyaan serius: apakah program ini telah dipersiapkan secara matang, atau ia lebih menyerupai sebuah eksperimen berskala nasional dengan anak-anak sebagai subjeknya? Respons pemerintah terhadap kasus keracunan sering kali diredam dengan statistik.

Salah satu narasi menyebutkan deviasi tingkat kasus keracunan hanya sekitar 0,00017 persen—seolah-olah angka kecil ini cukup untuk meredakan keresahan publik. Padahal, statistik tidak bisa menyamarkan fakta bahwa ada anak-anak yang sakit setelah mengonsumsi makanan dari program ini.

Dalam konteks kesehatan dan keselamatan publik, angka bukanlah pembenaran. Sebagaimana ungkapan yang tepat untuk situasi ini: “satu korban terlalu banyak, sejuta keberhasilan terlalu sedikit.”

Kebijakan publik bukan laboratorium

Kebijakan publik idealnya dibangun di atas riset matang, simulasi risiko, dan uji coba terbatas yang dilakukan sebelum implementasi berskala nasional. Namun, MBG tampak dijalankan dengan logika trial and error. Pemerintah mengandalkan data deviasi yang rendah untuk menjustifikasi program, seakan-akan keberadaan kasus keracunan bisa dianggap outlier semata.

Masalahnya, pendekatan ini lebih cocok untuk uji eksperimen di laboratorium, bukan dalam kehidupan nyata yang melibatkan jutaan anak. Dalam riset ilmiah, penyimpangan kecil bisa ditoleransi karena subjek penelitian sadar bahwa mereka menjadi bagian dari eksperimen.

Namun dalam kebijakan publik, masyarakat tidak pernah menandatangani “persetujuan eksperimen.” Mereka berhak menerima layanan yang aman, bukan sekadar “cukup aman berdasarkan statistik.” Menggunakan narasi ilmiah untuk menormalisasi keracunan justru mengikis kepercayaan publik. Anak-anak bukanlah angka dalam tabel statistik, melainkan individu yang berhak atas jaminan keselamatan penuh.

Mengorbankan satu anak demi membanggakan angka deviasi yang rendah sama saja menukar kemanusiaan dengan logika kuantitatif yang dingin.

Etika dan kepercayaan publik

Etika kebijakan menempatkan manusia sebagai pusat pertimbangan. Dalam kasus pangan, prinsip “zero harm” adalah standar minimum. Itulah mengapa pernyataan “satu korban terlalu banyak, sejuta keberhasilan terlalu sedikit” menjadi relevan.

Kalimat ini menegaskan bahwa keberhasilan program sebesar apa pun tidak bisa menutupi kegagalan mendasar: adanya bahaya nyata yang menimpa masyarakat. Kepercayaan publik tidak dibangun dari statistik, melainkan dari kepastian bahwa negara hadir melindungi warganya. Angka yang terlihat kecil tidak berarti apapun jika masyarakat merasakan ancaman langsung terhadap keselamatan mereka.

Dalam kondisi seperti ini, bahkan satu kasus keracunan saja sudah cukup untuk memunculkan keresahan massal dan melemahkan kepercayaan sosial. Jika masyarakat melihat pemerintah menganggap korban sebagai anomali kecil, maka legitimasi kebijakan akan terkikis. Rakyat bisa kehilangan keyakinan bahwa pemerintah menempatkan keselamatan mereka di atas segalanya.

Hilangnya kepercayaan publik bukan hanya masalah citra, tetapi bisa menghambat keberlanjutan program yang sebenarnya penting bagi masa depan generasi muda. Sebaliknya, sikap yang etis adalah mengakui kelemahan, memperbaiki sistem, dan menegaskan bahwa satu kasus saja sudah cukup untuk melakukan evaluasi mendalam. Program MBG memang harus berjalan karena manfaatnya besar, tetapi tanpa manajemen risiko yang kuat, manfaat itu akan tertutup oleh citra negatif.

Kepercayaan yang hilang jauh lebih sulit dipulihkan daripada angka statistik yang diturunkan. Kritik bukan berarti menolak program MBG. Justru kritik ini menjadi panggilan untuk memperbaikinya agar benar-benar layak disebut kebijakan publik, bukan eksperimen. Program ini membutuhkan evaluasi menyeluruh agar prinsip kehati-hatian dan keselamatan benar-benar terjamin.

Pertama, perketat sistem rantai pasok dan pengawasan dapur penyedia. Setiap penyedia harus melewati uji kelayakan berstandar nasional, bukan sekadar verifikasi administratif. Kualitas makanan tidak boleh bergantung pada keberuntungan, melainkan harus dipastikan sejak dari hulu hingga ke tangan anak-anak penerima. Kedua, tingkatkan transparansi dengan membuka data pengawasan pangan kepada publik. Dengan begitu, orangtua dapat mengawasi secara langsung kualitas penyedia dan menu yang diberikan.

Transparansi ini bukan sekadar formalitas, melainkan cara membangun partisipasi dan kepercayaan masyarakat.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *